TUGAS SOFTSKILL PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
“PASAL 28D AYAT 2”
BAB
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam (hasil amandemen) UUD 1945 secara tegas dinyatakan bahwa
setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang
adil dan layak dalam hubungan kerja. Ketentuan dasar ini dipertegas dalam
undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan[2], bahwa : Setiap
Pekerja/ buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan. Dalam rangka memenuhi hal tersebut, pemerintah
menetapkan kebijakan pengupahan untuk melindungi pekerja/ buruh. Melalui
kewenangannya sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 102 ayat (1)
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, pemerintah berhak melakukan intervensi dalam
rangka untuk memberi pelayanan, pengawasan, dan penindakan hukum.
Dalam negara kesejahteraan (welfare
state), terutama pihak pemerintah dianggap bertanggung jawab
untuk menjamin standar hidup minimum setiap warganya guna tercapai suatu
kehidupan yang sejahtera. Hal ini selaras dengan pernyataan Gooding bahwa dalam
negara kesejahteraan, campur tangan negara sangat diperlukan guna meningkatkan
suatu kesejahteraan umum dan mengoptimalkan kesejahteraan sosial. Tiadanya
campur tangan pemerintah (dalam ranah negara kesejahteraan) akan menimbulkan
ketidak-stabilan sosial, khususnya nilai tawar upah yang diajukan pihak pekerja
kepada pengusaha tidak memberi makna dalam setiap negoisasi, hal ini sangat
merugikan kepentingan pekerja, bahkan asas keseimbangan kepentingan sebagai
asas hukum, selain asas pengawasan publik dan asas campur tangan negara
terhadap kegiatan proses dan hasil produksi dalam hubungan kerja tidak
bernilai, bahkan eksistensi asas-asas tersebut yang melandasi peraturan
perundang-undangan akan sia-sia belaka. Hal ini menyimpang dari apa yang telah
diamanatkan dalam UUD 1945, karena itu berdasarkan amanat tersebut,
pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan terhadap perlakuan yang
bersifat diskriminatif, persamaan dihadapan hukum, hak untuk bekerja dan
mendapat imbalan serta perlakuan yang adil dalam hubungan kerja, dan hak-hak
lainnya, seperti standar pengupahan minimum, upah kerja lembur, pesangon, upah
tidak masuk kerja karena berhalangan dan upah tidak masuk kerja karena ada
suatu kegiatan lain di luar pekerjaannya dan upah untuk perhitungan pajak
penghasilan. Hak-hak tersebut wajib mendapatkan perlindungan dengan
memperhatikan asas keseimbangan dan batas kewenangan pemerintah dalam
melaksanakan fungsi pengawasan serta penindakan terhadap pelanggaran peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan.
Pemerintah dalam memberi perlindungan terhadap pekerja, ketika
melakukan nilai tawar upah melalui negoisasi dengan pengusaha telah menetapkan
standar upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak dengan memperhatikan
nilai produktivitas serta tingkat pertumbuhan ekonomi. Perintah hukum
(undang-undang) melarang pengusaha membayar upah lebih rendah dari upah minimum,
dan bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum dapat dilakukan
penangguhan. Kelalaian terhadap hal tersebut, maka bagi pengusaha yang
melanggar ketentuan hukum tersebut, yakni membayar upah lebih rendah dari upah
minimum merupakan tindak pidana kejahatan. Sebaliknya pengusaha yang tidak
mampu membayar upah minimum dapat mengajukan permohonan penangguhan kenaikan
upah minimum kepada Gubernur. Selanjutnya permohonan tersebut oleh Gubernur
setelah memenuhi syarat administrasi dan menerima saran dan pendapat dari
Dewan Pengupahan Provinsi, maka Gubernur menetapkan penangguhan pelaksanaan
upah minimum, dengan diktum, yaitu : Pertama,membayar
upah minimum sesuai upah minimum yang lama ; atau Kedua, membayar
upah minimum lebih tinggi dari upah minimum lama, tetapi lebih rendah dari upah
minimum baru ; atau Ketiga, menaikkan
upah minimum secara bertahap. Dalam hal Gubernur menolak permohonan penangguhan
pelaksanaan tersebut, maka pihak yang memohon penangguhan pelaksanaan upah
minimum wajib melaksanaan perintah hukum.
Prosedur dan ketentuan normatif pada tingkat implementasi yang
seharusnya oleh pengusaha dipatuhi, tampaknya masih banyak pelanggaran hukum
yang dilakukannya. Hal ini karena pengusaha yang terikat dalam kegiatan proses
produksi cenderung berpikir profit orientit, sehingga kurang mengindahkan
berlakunya aturan hukum yang diperparah dengan kurang seriusnya pemerintah
selaku institusi yang menjalankan fungsi pengawasan dalam melakukan tindakan
bagi pelanggar hukum. Salah satu kurang seriusnya pemerintah, yakni maraknya
para pemberi kerja, baik sektor formal maupun informal belum memenuhi target
minimum sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 90 Undang-Undang No. 13 Tahun
2003, pencapaian kebutuhan hidup layak dan
pelaksanakan peninjauan upah secara berkala.
Sebagaimana diketahui
kawasan asia tenggara, meliputi Indonesia, Malaysia, dan negara tetangga
lainnya terkena terpaan implikasi krisis global yang menerpa negara besar
antara lain Amerika, Inggris, dan negara kawasan eropa dan asia timur lainnya.
Dampak ini dirasakan oleh pengusaha dan pekerja di Indonesia, yang umumnya
kurang paham dalam menghadapi situasi dan kondisi yang mendadak untuk mencari
solusi. Kondisi ini berujung pada gelombang pemutusan hubungan kerja. Apakah
dampak krisis ekonomi dan moneter ini harus dibebankan epada tanggungjawab
pemerintah, pengusaha, atau dipikul bersama-sama sebagai tanggungjawab moral
semata. Eronisnya terpaan tersebut, meluncur hingga saat ini yang berimplikasi
terhadap pemberian upah. Dampak krisis, harus pula ditanggung pekerja
dalam bentuk penyesuaian upah kerja, bonus, tunjangan, maupun bentuk apresiasi
lainnya. Hingga kini, gelombang krisis ekonomi dan moneter masih sangat terasa,
terutama dikalangan pengusaha menengah ke bawah beban hidup cukup berat.
Kondisi ini menerpa pula kalangan pekerja yang kebutuhan hidupnya sangat
ketergantungan dari para majikan (pengusaha), yang berkuasa atas kepemilikan
perusahaan, di mana pekerja mengabdi diri. Tumpang tindih kepentingan
seharusnya dapat dihindari pelaku ekonomi, yaitu pekerja dan pengusaha dalam
ikatan hubungan kerja. Hal ini guna menjaga asas keseimbangan dalam
kepentingan, di mana pekerja ketergantungan kepada pengusaha. Sebaliknya pula
dipihak pengusaha tidak dapat melaksanakan kegiatan (proses) produksi tanpa
kehadiran pekerja, karena itu perlunya dibangun hubungan kerja yang dapat
memberi nilai kemanfatan, yakni kesejahteraan, khususnya bagi pekerja serta
keluarganya, dan masyarakat umumnya.
Timbulnya fenomena
tersebut, dipergunakan sebagai dasar alasan bagi kalangan pengusaha untuk
berdalih tidak mampu harus memberi upah sesuai ketentuan hukum. Hal ini sangat
dirasakan bagi pekerja, bahwa upah yang seharusnya diterima sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan, dalam kenyataannya tidak sesuai ketentuan
normatifnya.
BAB 2
PEMBAHASAN
Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya,
manusa mempunyai hak untuk bekerja. Setiap orang berhak mendapatkan pekerjaan
yang layak sesuai dengan disiplin ilmu yang dimilikinya. Setiap orang juga
berhak bekerja pada setiap perusahaan, maupun institusi yang tentunya setiap
orang tersebut juga mempunyai hak untuk mendapatkan imbalan yang sesuai dengan
jabatan dan tanggung jawab atas pekerjaan yang diembannya.
Setiap pekerja berhak memperoleh
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja tersebut, misalnya perlakuan
yang adil yaitu tanpa adanya perbedaan status, suku, maupun keyakinan, dan
perlakuan yang layak seperti setiap karyawan atau pegawai mendapat jaminan-jaminan
dalam pekerjaannya, seperti jaminan kesehatan yaitu pengobatan, jaminan hari
tua yaitu jaminan purna kerja, sehingga setiap pekerja merasa tenang atas
jaminan kerja yang diberikan oleh pemberi kerja, dan berhak mendapatkan
penghidupan yang terbaik dalam kehidupannya.
Namun seiring dengan berjalannya waktu,
perlindungan terhadap tenaga kerja masih sering kurang mendapat perhatian
khusus oleh pemerntah. Contohnya kasus yang sering dialami oleh para buruh
migran. Kematian, kekerasan dan berbagai bentuk pelanggaran HAM lainnya yang
dialami oleh mayoritas PRT migran Indonesia adalah kematian kedaulatan
bangsa ini. Kekerasan dan kematian buruh migran Indonesia selama tahun 2009
telah menjadi fenomena yang tak terpisahkan dalam perjalanan kehidupan bangsa
ini. Tak ada duka yang mendalam untuk setiap nyawa yang melayang. Tetesan darah
buruh migran-pun tidak mampu memberi pesan kepada pemerintah, pengambil
kebijakan publik. Alih-alih memberi perlindungan, pemerintah justru lebih
asyik untuk menghitung nilai devisa yang dihasilkan dengan taruhan nyawa dan
darah buruh migran Indonesia yang mayoritas adalah perempuan, sosok lemah dalam
pandangan masyarakat patriarkhi.
Sudah 64 tahun Indonesia merdeka, namun
tidak berdaya untuk melindungi keselamatan warga negaranya. Ikrar untuk turut
serta dalam ketertiban dunia yang telah dihafal sejak dideklarasikan tidak
membuat bangsa ini segera menyelaraskan kebijakan-kebijakannya dengan
masyarakat dunia lainnya. Indikasinya, sampai saat ini pemerintah masih enggan
untuk melaksanakan ratifikasi konvensi untuk buruh migran dan keluarganya, yang
nyata-nyata demi kepentingan warga negaranya.
Tidak
hanya kasus diatas saja, pelanggaran tehadap buruh juga masih sering ditemukan.
Kenyataan itu banyak dikeluhkan beberapa buruh kepada Lembaga Bantuan Hukum
(LBH) Surabaya. Tercatat, ada sekitar 50 aduan kasus pelanggaran terhadap
hak-hak buruh sejak tahun 2008 hingga tahun 2009. Nasib buruh di Jawa Timur,
khususnya di kota-kota Industri seperti Surabaya, Gresik, Sidoarjo dan Mojokerto
nampaknya masih jauh dari kesan sejahtera. Jangankan sejahtera, yang ada
kehidupan buruh justru dibayang-bayangi ketakutan karena ketidak jelasan status
pekerjaan.Kebanyakan kasus menyangkut tidak diberikannya hak normatif buruh
seperti gaji, uang lembur, cuti, atau jam kerja serta pemutusan hubungan kerja.
Biasanya perusahaan itu seenaknya memecat buruh karena posisi tawar buruh
rendah. Sementara lapangan kerja terbatas.
Terkadang
kita merasa dilema atas kasus diatas, karena pengusaha sendiri kalau ditekan
lebih memilih menutup usahanya, karena memang kondisi ekonomi yang kacau.
Sementara di sisi lain, nasib buruh ini masih jauh dari kesejahteraan. Tapi
setidaknya pengusaha tetap sedikit menaikkan UMK agar kesejahteraan buruh
terangkat, serta diperlukan kesadaran bagi setiap pekerja dalam memenuhi
selaruh tanggung jawab pekerjaan yang diembannya. Selain itu, pemerintah juga
harus melindungi para tenaga kerja, agar kesejahteraan dapat dirasakan bagi
setiap pekerja.
BAB 3
-
Penutup
Sekian pokok bahasan dari saya
tentang pasal 28d ayat 2,apabila ada kurang dan salah dalam penulisan kata-kata
mohon dimaafkan.
Terima kasih
-
Kesimpulan
Dari uraian
tersebut di atas dapat diketahui bahwa alasan utama perusahaan tidak memberi
(hak) upah sesuai ketentuan hukum, yakni disebabkan dampak krisis global, serta
cenderung berpikir profit orientit, sehingga tidak mengindahkan berlakunya
hukum. Alasan demikian tidak dibenarkan hukum, kecuali alasan yang memenuhi
persyaratan ketentuan Pasal 90 ayat (2). Undang-Undang No.13 Tahun 2003. Hukum
tidak membenarkan adanya pembayaran upah di bawah ketentuan Pasal 90 (1)
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003.
-
Daftar pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar