Sabtu, 23 Maret 2013

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN “PASAL 28D AYAT 2”


TUGAS SOFTSKILL PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
PASAL 28D AYAT 2













BAB 1
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang

Dalam (hasil amandemen) UUD 1945 secara tegas dinyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Ketentuan dasar ini dipertegas dalam undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan[2], bahwa : Setiap Pekerja/ buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dalam rangka memenuhi hal tersebut, pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan untuk melindungi pekerja/ buruh. Melalui kewenangannya sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 102 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, pemerintah berhak melakukan intervensi dalam rangka untuk memberi pelayanan, pengawasan, dan penindakan hukum.
Dalam negara kesejahteraan (welfare state), terutama pihak pemerintah dianggap  bertanggung jawab untuk menjamin standar hidup minimum setiap warganya guna tercapai suatu kehidupan yang sejahtera. Hal ini selaras dengan pernyataan Gooding bahwa dalam negara kesejahteraan, campur tangan negara sangat diperlukan guna meningkatkan suatu kesejahteraan umum dan mengoptimalkan kesejahteraan sosial. Tiadanya campur tangan pemerintah (dalam ranah negara kesejahteraan) akan menimbulkan ketidak-stabilan sosial, khususnya nilai tawar upah yang diajukan pihak pekerja kepada pengusaha tidak memberi makna dalam setiap negoisasi, hal ini sangat merugikan kepentingan pekerja, bahkan asas keseimbangan kepentingan sebagai asas hukum, selain asas pengawasan publik dan asas campur tangan negara terhadap kegiatan proses dan hasil produksi dalam hubungan kerja tidak bernilai, bahkan eksistensi asas-asas tersebut yang melandasi peraturan perundang-undangan akan sia-sia belaka. Hal ini menyimpang dari apa yang telah diamanatkan dalam  UUD 1945, karena itu berdasarkan amanat tersebut, pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif, persamaan dihadapan hukum, hak untuk bekerja dan mendapat imbalan serta perlakuan yang adil dalam hubungan kerja, dan hak-hak lainnya, seperti standar pengupahan minimum, upah kerja lembur, pesangon, upah tidak masuk kerja karena berhalangan dan upah tidak masuk kerja karena ada suatu kegiatan lain di luar pekerjaannya dan upah untuk perhitungan pajak penghasilan. Hak-hak tersebut wajib mendapatkan perlindungan dengan memperhatikan asas keseimbangan dan batas kewenangan pemerintah dalam melaksanakan fungsi pengawasan serta penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
Pemerintah dalam memberi perlindungan terhadap pekerja, ketika melakukan nilai tawar upah melalui negoisasi dengan pengusaha telah menetapkan standar upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak dengan memperhatikan nilai produktivitas serta tingkat pertumbuhan ekonomi. Perintah hukum (undang-undang) melarang pengusaha membayar upah lebih rendah dari upah minimum, dan bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum dapat dilakukan penangguhan. Kelalaian terhadap hal tersebut, maka bagi pengusaha yang melanggar ketentuan hukum tersebut, yakni membayar upah lebih rendah dari upah minimum merupakan tindak pidana kejahatan. Sebaliknya pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum dapat mengajukan permohonan penangguhan kenaikan upah minimum kepada Gubernur. Selanjutnya permohonan tersebut oleh Gubernur setelah  memenuhi syarat administrasi dan menerima saran dan pendapat dari Dewan Pengupahan Provinsi, maka Gubernur menetapkan penangguhan pelaksanaan upah minimum, dengan diktum, yaitu : Pertama,membayar upah minimum sesuai upah minimum yang lama ; atau Kedua, membayar upah minimum lebih tinggi dari upah minimum lama, tetapi lebih rendah dari upah minimum baru ; atau Ketiga, menaikkan upah minimum secara bertahap. Dalam hal Gubernur menolak permohonan penangguhan pelaksanaan tersebut, maka pihak yang memohon penangguhan pelaksanaan upah minimum wajib melaksanaan perintah hukum.
Prosedur dan ketentuan normatif pada tingkat implementasi yang seharusnya oleh pengusaha dipatuhi, tampaknya masih banyak pelanggaran hukum yang dilakukannya. Hal ini karena pengusaha yang terikat dalam kegiatan proses produksi cenderung berpikir profit orientit, sehingga kurang mengindahkan berlakunya aturan hukum yang diperparah dengan kurang seriusnya pemerintah selaku institusi yang menjalankan fungsi pengawasan dalam melakukan tindakan bagi pelanggar hukum. Salah satu kurang seriusnya pemerintah, yakni maraknya para pemberi kerja, baik sektor formal maupun informal belum memenuhi target minimum sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 90 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003,  pencapaian kebutuhan hidup layak dan pelaksanakan peninjauan upah secara berkala.
Sebagaimana diketahui kawasan asia tenggara, meliputi Indonesia, Malaysia, dan negara tetangga lainnya terkena terpaan implikasi krisis global yang menerpa negara besar antara lain Amerika, Inggris, dan negara kawasan eropa dan asia timur lainnya. Dampak ini dirasakan oleh pengusaha dan pekerja di Indonesia, yang umumnya kurang paham dalam menghadapi situasi dan kondisi yang mendadak untuk mencari solusi. Kondisi ini berujung pada gelombang pemutusan hubungan kerja. Apakah dampak krisis ekonomi dan moneter ini harus dibebankan epada tanggungjawab pemerintah, pengusaha, atau dipikul bersama-sama sebagai tanggungjawab moral semata. Eronisnya terpaan tersebut, meluncur hingga saat ini yang berimplikasi terhadap pemberian upah. Dampak krisis, harus pula ditanggung  pekerja dalam bentuk penyesuaian upah kerja, bonus, tunjangan, maupun bentuk apresiasi lainnya. Hingga kini, gelombang krisis ekonomi dan moneter masih sangat terasa, terutama dikalangan pengusaha menengah ke bawah beban hidup cukup berat. Kondisi ini menerpa pula kalangan pekerja yang kebutuhan hidupnya sangat ketergantungan dari para majikan (pengusaha), yang berkuasa atas kepemilikan perusahaan, di mana pekerja mengabdi diri.  Tumpang tindih kepentingan seharusnya dapat dihindari pelaku ekonomi, yaitu pekerja dan pengusaha dalam ikatan hubungan kerja. Hal ini guna menjaga asas keseimbangan dalam kepentingan, di mana pekerja ketergantungan kepada pengusaha. Sebaliknya pula dipihak pengusaha tidak dapat melaksanakan kegiatan (proses) produksi tanpa kehadiran pekerja, karena itu perlunya dibangun hubungan kerja yang dapat memberi nilai kemanfatan, yakni kesejahteraan, khususnya bagi pekerja serta keluarganya, dan masyarakat umumnya.
Timbulnya fenomena tersebut, dipergunakan sebagai dasar alasan bagi kalangan pengusaha untuk berdalih tidak mampu harus memberi upah sesuai ketentuan hukum. Hal ini sangat dirasakan bagi pekerja, bahwa upah yang seharusnya diterima sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, dalam kenyataannya tidak sesuai ketentuan normatifnya.







BAB 2
PEMBAHASAN

Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, manusa mempunyai hak untuk bekerja. Setiap orang berhak mendapatkan pekerjaan yang layak sesuai dengan disiplin ilmu yang dimilikinya. Setiap orang juga berhak bekerja pada setiap perusahaan, maupun institusi yang tentunya setiap orang tersebut juga mempunyai hak untuk mendapatkan imbalan yang sesuai dengan jabatan dan tanggung jawab atas pekerjaan yang diembannya.
Setiap pekerja berhak memperoleh perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja tersebut, misalnya perlakuan yang adil yaitu tanpa adanya perbedaan status, suku, maupun keyakinan, dan perlakuan yang layak seperti setiap karyawan atau pegawai mendapat jaminan-jaminan dalam pekerjaannya, seperti jaminan kesehatan yaitu pengobatan, jaminan hari tua yaitu jaminan purna kerja, sehingga setiap pekerja merasa tenang atas jaminan kerja yang diberikan oleh pemberi kerja, dan berhak mendapatkan penghidupan yang terbaik dalam kehidupannya.
Namun seiring dengan berjalannya waktu, perlindungan terhadap tenaga kerja masih sering kurang mendapat perhatian khusus oleh pemerntah. Contohnya kasus yang sering dialami oleh para buruh migran. Kematian, kekerasan dan berbagai bentuk pelanggaran HAM lainnya yang dialami  oleh mayoritas PRT migran Indonesia adalah kematian kedaulatan bangsa ini. Kekerasan dan kematian buruh migran Indonesia selama tahun 2009 telah menjadi fenomena yang tak terpisahkan dalam perjalanan kehidupan bangsa ini. Tak ada duka yang mendalam untuk setiap nyawa yang melayang. Tetesan darah buruh migran-pun tidak mampu memberi pesan kepada pemerintah, pengambil kebijakan publik. Alih-alih memberi perlindungan,  pemerintah justru lebih asyik untuk menghitung nilai devisa yang dihasilkan dengan taruhan nyawa dan darah buruh migran Indonesia yang mayoritas adalah perempuan, sosok lemah dalam pandangan masyarakat patriarkhi.
Sudah 64 tahun Indonesia merdeka, namun tidak berdaya untuk melindungi keselamatan warga negaranya. Ikrar untuk turut serta dalam ketertiban dunia yang telah dihafal sejak dideklarasikan tidak membuat bangsa ini segera menyelaraskan kebijakan-kebijakannya dengan masyarakat dunia lainnya. Indikasinya, sampai saat ini pemerintah masih enggan untuk melaksanakan ratifikasi konvensi untuk buruh migran dan keluarganya, yang nyata-nyata demi kepentingan warga negaranya.
Tidak hanya kasus diatas saja, pelanggaran tehadap buruh juga masih sering ditemukan. Kenyataan itu banyak dikeluhkan beberapa buruh kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya. Tercatat, ada sekitar 50 aduan kasus pelanggaran terhadap hak-hak buruh sejak tahun 2008 hingga tahun 2009. Nasib buruh di Jawa Timur, khususnya di kota-kota Industri seperti Surabaya, Gresik, Sidoarjo dan Mojokerto nampaknya masih jauh dari kesan sejahtera. Jangankan sejahtera, yang ada kehidupan buruh justru dibayang-bayangi ketakutan karena ketidak jelasan status pekerjaan.Kebanyakan kasus menyangkut tidak diberikannya hak normatif buruh seperti gaji, uang lembur, cuti, atau jam kerja serta pemutusan hubungan kerja. Biasanya perusahaan itu seenaknya memecat buruh karena posisi tawar buruh rendah. Sementara lapangan kerja terbatas.
Terkadang kita merasa dilema atas kasus diatas, karena pengusaha sendiri kalau ditekan lebih memilih menutup usahanya, karena memang kondisi ekonomi yang kacau. Sementara di sisi lain, nasib buruh ini masih jauh dari kesejahteraan. Tapi setidaknya pengusaha tetap sedikit menaikkan UMK agar kesejahteraan buruh terangkat, serta diperlukan kesadaran bagi setiap pekerja dalam memenuhi selaruh tanggung jawab pekerjaan yang diembannya. Selain itu, pemerintah juga harus melindungi para tenaga kerja, agar kesejahteraan dapat dirasakan bagi setiap pekerja.























BAB 3

-      Penutup

Sekian pokok bahasan dari saya tentang pasal 28d ayat 2,apabila ada kurang dan salah dalam penulisan kata-kata mohon dimaafkan.
Terima kasih

-      Kesimpulan

Dari uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa alasan utama perusahaan tidak memberi (hak) upah sesuai ketentuan hukum, yakni disebabkan dampak krisis global, serta cenderung berpikir profit orientit, sehingga tidak mengindahkan berlakunya hukum. Alasan demikian tidak dibenarkan hukum, kecuali alasan yang memenuhi persyaratan ketentuan Pasal 90 ayat (2). Undang-Undang No.13 Tahun 2003. Hukum tidak membenarkan adanya pembayaran upah di bawah ketentuan Pasal 90 (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003.

-      Daftar pustaka


Tidak ada komentar:

Posting Komentar